Blogaholic Designs”=

triiiiid

Jadilah Pahlawan Kebangkitan!
Oleh : Hendra Sugiantoro

20-Mei-2008, 14:44:40 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Hari ini, Selasa, 20 Mei 2008, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional alias Harkitnas. Beragam kegiatan pun digelar di penjuru negeri untuk ”menghingar-bingarkan” peringatan yang mengambil hari berdirinya Budi Utomo berarti tepat berusia satu abad. Jika ditarik garis sejarah, dari lahirnya Budi Utomo hingga perjalanan satu abad ini telah menyuguhkan peristiwa penting dan monumental. Peristiwa itu sebut saja antara lain adalah Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, dan reformasi 1998.

Dari peristiwa bersejarah yang disebutkan, dua peristiwa terjadi pada masa penjajahan dan masa meraih kemerdekaan. Dari berdirinya Budi Utomo sampai tercetusnya Sumpah Pemuda 1928 berarti berjarak waktu sekitar 20 tahun. Setelah 20 tahun sampai memproklamasikan kemerdekaan terbentang jarak waktu sekitar 17 tahun. Antara 20 tahun dan 17 tahun dalam rentang sejarah itu tentu menegaskan adanya sebuah proses. Artinya, idealita yang diharapkan tidak seketika muncul begitu saja tanpa kita melewati suatu tahapan proses untuk menggapai idealita itu. Nah, dari sinilah kita bisa merenungkan sejenak perjalanan reformasi yang pada tahun ini menginjak usia satu dasawarsa.

Memang harus diakui jika reformasi menyimpan harapan besar bagi perbaikan tatanan di segenap lini kehidupan di negeri ini. Harapan yang wajar karena sekian lama masyarakat ”dikibuli” penguasa Orde Baru yang secara kasat mata menampilkan unjuk kerja meyakinkan tapi sebenarnya semu belaka. Setelah badai krisis melanda Asia dan berefek ke Indonesia sekitar 1997, unjuk kerja pemerintahan Soeharto yang kelihatan ”oke punya” itu ternyata dibuat kelimpungan. Imbasnya, masyarakat kecil dilanda kepapaan yang amat sangat memerihkan. Saat itu harga-harga kebutuhan pokok membumbung tinggi dan perut masyarakat yang keroncongan tak bisa cepat dikenyangkan. Fenomena yang mengemuka saat itu salah satunya digambarkan Andi Rahmat dan Mukhammad Najib dalam bukunya bertajuk ”Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus” (terbit pertama kali pada 2001).

Atas dasar fenomena menyesakkan yang terjadi di masyarakat, berbagai elemen pun tak tinggal diam. Demonstrasi terus dilancarkan dan mencapai klimaksnya pada 21 Mei 1998 dengan lengser keprabon-nya Soeharto. Dengan turun tahtanya Soeharto dari tampuk kekuasaan, mahasiswa dan juga rakyat tampak menyambut secara gegap gempita. Optimisme pun mencuat akan hadirnya perbaikan kehidupan di negeri Indonesia ini.
Harapan bangkit dari deraan keterpurukan pada saat itu sebenarnya tak jauh berbeda dengan saat ini. Jika sepuluh tahun lalu negeri ini terpuruk, saat ini pun juga terpuruk. Dari kacamata kesejahteraan, kehidupan masyarakat kecil tak beranjak menuju sempurna.

Kemiskinan, kelaparan, dan gizi buruk masih terjadi dimana-mana. Lalu, apa bedanya ada reformasi dengan tidak ada reformasi? Pertanyaan ini tak dibantah terus menggelayuti benak masyarakat. Dalam berita Kompas (16/5) lalu sedikit banyak bisa membuktikan tak ada bedanya era reformasi dengan era sebelum reformasi. Minah, salah seorang yang hidup di negeri ini, menganggap tak ada perbedaan antara kehidupan sebelum dan setelah 10 tahun terakhir. Yang ia rasakan saat ini justru perjuangan hidup menjadi lebih sulit. Penghasilan Minah yang bekerja sebagai buruh cuci sebesar Rp 750.000 sebulan ternyata tak banyak memberi arti.

Dengan rada sinis, Ratmono, salah satu warga negara di republik ini, berujar, ”Memang ada bedanya. Kalau dulu saya kerja dua hari cukup untuk satu minggu, sekarang kerja satu minggu untuk hidup satu hari juga susah.” (lebih detil lihat berita Kompas pada 16 Mei 2008 berjudul ””Repormasi”, Apaan Sik?” halaman 1).
Jika ditarik kesimpulan secara gampang, reformasi selama ini bisa dikatakan tidak membuahkan sisi positif bagi masyarakat. Bahkan, sebagian kalangan menilai reformasi telah gagal. Kita pun tak lagi terkejut ketika mendengar ungkapan ”Reformasi Telah Mati Suri” setiap kali memperingati Hari Reformasi. Selain ada pihak yang menilai gagal, tentu ada juga pihak yang menilai reformasi tidak gagal sama sekali. Amien Rais, pionir reformasi 1998, menganggap reformasi politik relatif dikatakan berhasil meskipun gagal dalam ekonomi, hukum, dan sosial-budaya. Menurutnya, pemerintah memang sudah gagal dalam menegakkan kedaulatan ekonomi, hukum, dan sosial-budaya karena mudah dikendalikan pihak asing (Bernas Jogja, 16/5).

Terkait perjalanan reformasi, masing-masing pihak tentu sah-sah saja memberikan penilaian. Apapun penilaian itu, perjalanan bangsa dan negara ini jelas tidak akan berhenti. Perjalanan bangsa dan negara ini akan terus berlanjut. Yang perlu diingat, perjalanan yang terus berlanjut itu tidak pernah memedulikan apakah kondisi negeri ini dalam keterpurukan atau tidak. Dengan kata lain, jika kondisi negeri ini terpuruk, maka akan berjalan dengan sempoyongan karena kondisinya terpuruk.
Nah, yang menjadi pertanyaan adalah relakah kita sebagai bangsa terus berjalan dalam kondisi tak gagah alias terpuruk terus-menerus? Alangkah ironis memang melihat realita kehidupan di negeri ini. Meskipun telah merdeka lebih dari 62 tahun, tapi tak menunjukkan kemajuan signifikan. Dengan Malaysia saja yang pernah menjadi yunior kita, kita tak mampu menegakkan kepala. Malah kita sering kali dibuat malu dengan Vietnam yang masih seumur jagung menjadi negara merdeka.

Fakta keterpurukan bangsa dan negara ini boleh jadi telah kita sadari bersama. Buktinya, Harkitnas yang kepanjangannya adalah Hari Kebangkitan Nasional dipelesetkan menjadi Hari Sakit Nasional. Baca saja berita utama Kabar Indonesia kemarin (19/5) yang ditulis Robert Nio jelas-jelas bertajuk ”Hari Keterpurukan Nasional”. Malah muncul juga ungkapan Hari Kebangetan Nasional karena melihat pemerintah yang suka tutup mata terhadap jerit pilu keseharian hidup masyarakat.

Yang jelas, asalkan kita melihat dengan mata bening dan jernih, kondisi negeri ini memang benar-benar sakit parah. Bukannya kemajuan yang dicapai, tapi negeri ini justru diambang kebangkrutan. Headline harian Media Indonesia kemarin (19/5) bahkan tak segan-segan membuat judul ”Indonesia Memasuki Kebangkrutan Nasional”. Ya, apa mau dikata kalau Indonesia benar-benar amat sangat sekali terpuruknya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin saja terbilang tinggi sekitar 37,1 juta dan ada lebih 10 juta orang menganggur tanpa pekerjaan pasti. Aset-aset strategis nasional pun sudi dijual penguasa kepada pihak asing sehingga memunculkan fakta ironis kepapasengsaraan penduduk di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi. Melihat tak jelasnya nasib Indonesia, Amien Rais pun menyuguhkan kado istimewa bagi bangsa ini berupa sebuah buku berjudul ”Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia!”. Lantas pertanyaannya, apa yang mesti kita perbuat?

Bagaimana pun, seabad Kebangkitan Nasional tidak akan menjamin sebuah kemajuan bagi negeri ini. Tak ada jaminan negeri ini kuasa bangkit dari ketidakberdayaan meskipun sudah seratus tahun memperingati Kebangkitan Nasional. Seribu tahun Kebangkitan Nasional pun tak menjamin negeri ini menjadi lebih mulia dan bermartabat secara lahir batin jika kita tidak berbuat nyata bagi kebangunan dan kebangkitannya. Tegasnya, kitalah pilar kebangkitan itu. Kitalah penentu arah perjalanan republik ini, apakah akan menapak maju atau mundur ke belakang. Dalam lembar teks agama pun telah terang benderang ditegaskan bahwa tidak ada kuasa Tuhan merubah keadaan suatu kaum kecuali jika kaum itu siap sedia melakukan perbaikan.

Untuk itu, kita perlu membangun optimisme akan cerahnya wajah negeri ini. Meminjam konsep Anis Matta (2006), dalam masa keterpurukan, yang dibutuhkan bangsa ini adalah hadirnya pahlawan kebangkitan. Pahlawan yang memang dari makna filosofisnya hanya menggariskan perjuangan untuk meraih ridha Tuhan. Pahlawan yang tulus ikhlas berpikir, berjuang, dan berkarya bagi kebangunan negeri ini tanpa terbesit pun menjadi pecundang. Jika berteriak antikorupsi, ya tak akan menghalalkan korupsi. Jika mengatakan perjuangannya untuk kepentingan rakyat, ya benar-benar untuk rakyat.

Jadi, marilah kita menjadi pahlawan kebangkitan itu. Menjadi pahlawan di setiap bidang profesi dan pekerjaan kita untuk satu tujuan: kemajuan Indonesia. Presiden dan Wakil Presiden yang menjadi pahlawan kebangkitan dengan memimpin dan mengendalikan kepemimpinan negeri ini secara arif bijaksana demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Pejabat negara yang menjadi pahlawan kebangkitan dengan bekerja sunguh-sungguh menunaikan amanah bagi kepentingan rakyat. Para wakil rakyat yang menjadi pahlawan kebangkitan dengan benar-benar menjadi wakil rakyat tanpa pura-pura.

Guru yang menjadi pahlawan kebangkitan dengan mendidik generasi bangsa agar siap menghadapi tantangan zaman yang niscaya. Ya, siapa pun kita memang harus menyediakan dirinya menjadi pahlawan kebangkitan. Kelak, entah berapa tahun lagi, kita sepertinya tak perlu lagi memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Kita terlalu capek dan lelah terpuruk terus-menerus dan di setiap momentum Kebangkitan Nasional diingatkan untuk bangkit, bangkit, dan bangkit. Saatnya bagi kita untuk membuat kemajuan sehingga nantinya memperingati Hari Kemajuan Nasional. Memperingati Hari Kemajuan Nasional karena memang perjalanan negeri ini terus menapak maju ke depan!

Salam.
Hendra Sugiantoro,
Studi Sarjana S-1 di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

Leave A Comment